PEMERINTAH kolonial Belanda saat menjajah negeri ini ratusan tahun silam telah mengeluarkan peraturan, setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalanan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter.
Ruas untuk pejalan kaki itu dalam aturannya harus sedikit ditinggikan, sehingga pejalan kaki nyaman berjalan di trotoar. Adapun kemudian pedagang di atas trotoar yang selebar lima kaki itu, dallam perkembangan selanjutnya terkenal menjadi pedagang kaki lima (PKL).
Kata trotoar berasal dari bahasa Prancis, trottoir. Kata oi dilafalkan sebagai oa sehingga terdengar trotoar. Meski tak pernah dijajah Prancis, namun kata trotoar sudah biasa digunakan Belanda yang negerinya saat itu dalam pengaruh Prancis bahkan sempat 3 tahun dijajah Prancis.
Namun kita tidak akan bicara soal asal usul trotoar. Kita justru melihat bahwa di kota-kota negeri ini, khususnya kota besar, trotoar malah menjadi etalase aneka persoalan di kota tersebut.
Seperti diberitakan harian ini, Selasa (12/1). DPRD Kota Bandung akan gunakan hak interpelasi menyusul tersendatnya pengerjaan proyek trotoar granit di Jalan Braga dan Jalan RE Martadinata.
Interpelasi adalah hak dewan meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis yang berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Memang akibat molornya pengerjaan trotoar tersebut, Pemkot Bandung memutuskan kontraknya dengan kontraktor. Pemkot juga melakukan lelang ulang untuk menentukan rekanan yang akan melanjutkan proyek trotoar tersebut.
Proyek trotoar granit di Jalan Braga dan Jalan LLRE Martadinata telah dihentikan sejak 29 Desember 2014. Sejak hari itu, di Jalan Braga sudah tidak terlihat pekerja membenahi jalan yang bersejarah tersebut.
Yang terlihat hanya tumpukan tanah dan material-material lainnya.Akibatnya ambisi Bandung memiliki trotoar granit yang indah buyar sementara.
Trotoar granit memang mengagumkan, mewah, serta nyaman. Namun harus diingat bukan kemewahan trotoar itu sendiri, namun kemampuan mengerjakan secara benar dan tepat waktu dari para kontraktornya. Kemudian jika nanti trotoar terwujud, ketegasan Pemkot menegakkan Perda K3 di atas trotoar itu yang paling dinntikan.
Dalam hal ini kita mengapresiasi langkah pemkot membuat trotoar indah, karena banyak kota lain di dunia ini yang tidak memiliki trotoar sebagus (jika terwujud) di Jalan Braga dan RE Martadinata itu. Namun trotoar yang rapih, bersih, tertib, serta tidak merampas hak-hak pejalan kaki adalah hal yang lebih diinginkan bahkan diimpakan oleh setiap warga kota ini.
Harus diingat bahwa trotoar adalah ruang publik, yang memungkinkan terjadinya interaksi sosial antarpara pejalan kaki, sehingga secara tidak langsung turut berkontribusi terhadap terbentuknya masyarakat yang ideal.
Seperti dikatakan Enrique Penalosa, Mantan Wali Kota Bogota, Kolombia, trotoar yang nyaman adalah elemen dasar sebuah kota yang demokratis!
Jadi jika dalam suatu negeri, trotoar di kota-kotanya telah dirampas untuk kepentingan bisnis atau politik atau keamanan semata, bahkan untuk pembuatan trotoarnya pun penuh ketidakberesan, maka demokrasi di kota itu juga tidak sehat.
Trotoar bagaimanapun merupakan ruang interaksi sosial, bukan hanya interaksi antarmanusia (termasuk dengan aparat pemerintah), melainkan juga interaksi manusia dengan lingkungan hidup kotanya. Jika interaksi sosial dan lingkungan buruk, maka buruk juga kota itu. (Adityas Annas Azhari)
Naskah Sorot ini bisa dibaca di edisi cetak Harian Pagi Tribun Jabar, Rabu (14/1/2015). Ikuti berita-berita menarik lainnya melalui akun twitter: tribunjabar dan fan page facebook: tribunjabaronline.