Oleh TEUKU MUH GUCI S
ROMBONGAN orang keluar atau masuk ke sebuah bangunan berlantai dua di Jalan Mangunsarkoro ketika matahari tepat di atas kepala, Minggu (26/1). Jap Tjin Hok (63), pemilik bangunan itu, pun sibuk melayani sejumlah pembeli yang memadati tempat usahanya itu.
Di akhir pekan kemarin memang banyak warga Kabupaten Cianjur dari berbagai daerah datang ke Jalan Mangunsarkoro. Toko milik Jap Tjin Hok itu bukan satu-satunya tempat usaha di sepanjang jalan protokol itu.
Toko milik Jap Tjin Hok itu merupakan satu dari sekian banyak toko yang berjajar di sepanjang Jalan HOS Cokroaminoto hingga Jalan Mangunsarkoro. Ada yang berjualan kebutuhan pokok, alat elektronik, perlengkapan rumah tangga, dan lain-lain. Karena itu, jangan heran jika kerap terjadi kemacetan di jalan yang hanya dilalui satu arah itu.
Konon toko-toko yang berdiri di sepanjang jalan itu sudah ada sejak abad ke-19. Kala itu warga keturunan Tionghoa mulai berdatangan untuk menetap dan membuka peluang usaha di Cianjur. Berbagai cerita dan peninggalan pun masih terlihat dan tersimpan.
Pengurus kelenteng Hok Tek Bio Cianjur, Hendra Kurniawan (21), mengatakan, warga keturunan Tionghoa diperkirakan masuk ke Cianjur pada awal tahun 1800. Hal itu ditandai sejumlah fakta sejarah warga keturunan Tionghoa yang ditemukan di Kabupaten Cianjur. Di antaranya usia pusara warga keturunan Tionghoa yang ada di Pasir Hayam.
"Catatan pasti memang tidak ada. Hanya saja, kami pernah melihat ada pemakaman yang baru dibuat sekitar 1920. Artinya, sebelum tahun 1900 sudah ada warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Cianjur," ujar Hendra kepada Tribun di Kelenteng Hok Tek Bio, Jalan Mangunsarkoro, kemarin.
Menurut Hendra, warga keturunan Tionghoa masuk ke Batavia baru kemudian Bogor melalui Malaka sekitar tahun 1600. Hal itu diperkuat dengan sejarah kelenteng tertua di Bogor yang dibangun pada 1640. Lambat laun warga keturunan Tionghoa ini mulai menyebar ke Cianjur pada tahun 1800.
"Fakta sejarah yang memperkuat warga keturunan Tionghoa di Cianjur baru masuk pada 1800 adalah berdirinya kelenteng Hok Tek Bio Cianjur yang diperkirakan dibangun sekitar 1880. Memang belum akurat, tapi dilihat dari pembangunan pagar pada 1921 cukup masuk akal karena tidak mungkin pagar duluan yang dibangun sebelum bangunan utamanya," ujar Hendra.
Hendra menambahkan, arsitektur khas pun menandakan bahwa warga keturunan Tionghoa sudah ada di Cianjur sebelum abad ke-20. Sejumlah bangunan yang berdiri di sepanjang Jalan HOS Cokroaminoto hingga Jalan Mangunsarkoro masih mempertahankan mape (puncak atap yang berbentuk pelana kuda dengan ornamen khas Cina). Konon mape adalah gaya bangunan khas warga Tionghoa di Cina selatan.
"Memang hubungan Cina dan Indonesia sudah ada sejak 1500. Selain memperdalam agama Buddha di Kerajaan Sriwijaya, hubungan perdagangan pun sudah dimulai, terutama zaman Laksamana Ceng Ho. Namun maraknya migrasi warga Cina ke Indonesia berlangsung ketika kekacauan terjadi di masa Dinasti Ching pada 1800. Khususnya warga Cina selatan merantau ke Indonesia untuk mencari kehidupan yang layak," ujar Hendra.
Keyakinan datangnya warga Tionghoa ada awal abad ke-19 juga dikatakan Ilham Nurwansyah (25), penulis Cianjur Heritage di laman heritage.dicianjur.com. Berdasarkan besluit (surat keputusan dari Belanda), kampung Cina didirikan 9 Juni 1810. Pendirian kampung Cina itu bertujuan mengembangkan perekonomian di Kabupaten Cianjur.
"Warga Cianjur pada awalnya tidak begitu plural, hanya orang lokal dan suruhan Mataram. Baru setelah Belanda datang ke Cianjur dan mendirikan Cianjur sebagai regente, didatangkan warga Tionghoa yang sudah ada di Indonesia untuk meningkatkan perekonomian lokal di Cianjur," Ilham.
Ilham mengatakan, sejak didirikannya Kampung Cina, warga keturunan ini melakukan berbagai kegiatan usaha. Hal itu dimaksudkan untuk mendukung kehidupan orang Belanda. Dalam bidang kulinernya, misalnya, warga keturunan Tionghoa ini membuat olahan roti. Hingga kini olahan roti warga keturuna Tionghoa ini pun masih bertahan, yang dikenal dengan roti Tan Keng Cu.
"Walau tak mengenal roti, warga Tionghoa bisa membuat bakpao. Karena itu, mereka memproduksi roti untuk memenuhi permintaan penduduk Eropa di Cianjur. Hingga kini, produksi roti Tan Keng Cu pun tetap bertahan dan cukup dikenal," ujar Ilham.
Perekonomian Cianjur semakin terdongkrak dengan adanya sejumlah warga keturunan Tionghoa yang sukses dalam usahanya. Satu di antaranya Go Su Gwe, seorang pengusaha keramik tersohor di Kabupaten Cianjur. Namanya pun kini menjadi nama sebuah daerah yang tak jauh dari Pasar Induk Cianjur (PIC).
"Bangunannya pun masih ada walaupun pemiliknya tak lagi tinggal di Cianjur. Keturunan Go Su Gwe memilih pindah ke luar Kabupaten Cianjur meski kakek moyangnya berhasil menjadi pengusaha di Kabupaten Cianjur pada masanya," ujar Ilham.
Bahwa warga Cianjur keturunan Tionghoa memiliki jasa yang besar dalam perekonomian Cianjur diakui Haryadi Atmaja (65), pengurus organisasi Tiong Hoa Zhan Hua. Menurut dia, perkembangan usaha di sepanjang Jalan Cokroaminoto sampai Jalan Mangunsarkoro berlangsung pesat dengan adanya Kampung Cina ini.
"Dulu ketika awal datang ke Cianjur semuanya sama-sama susah. Sedikit demi sedikit kami terus berdagang hingga akhirnya berkembang. Apalagi sekarang lebih berbaur," ujar Haryadi.
Menurut Haryadi, warga keturunan Tionghoa sebenarnya ingin tinggal di berbagai daerah. Namun hal itu tak bisa dilakukan, terutama sejak keluar Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 1959. Peraturan itu menegaskan warga keturunan Tionghoa harus tinggal terpusat di ibu kota kabupaten/kota.
"Sebetulnya adanya kampung Cina itu bukan keinginan kami. Kami ingin tinggal di berbagai daerah, tak hanya terpusat. Memang ada untung dan ruginya dengan adanya peraturan ini. Ruginya di daerah lain tak bisa berkembang, hanya di satu daerah saja. Untungnya banyak yang datang ke Cianjur karena nyatanya seperti itu," kata Haryadi. (*)