Hermawan Aksan
SEJAK kecil kami akrab dengan Gunung Slamet. Akrab dalam arti bukan karena kami sering mendakinya, melainkan ia bagian penting dari pemandangan yang kami lihat sehari-hari. Setiap pagi, saat sunrise, matahari muncul dari balik Gunung Slamet, memamerkan keindahannya dalam bentuk siluet kerucut dengan sedikit lekukan di puncaknya.
Kalau Anda sering melihat lukisan pemandangan yang terdiri atas gunung, matahari, jalan, sungai, sawah, dan pepohonan, kami memiliki pemandangan asli seperti itu di desa kami. Pemandangan akan lebih indah jika kami menyaksinya dari ketinggian di sebelah barat desa. Gunung Slamet itulah pusatnya. Kalau ditarik garis lurus, desa kami terletak sekitar 35 km di sebelah barat Gunung Slamet.
Sejak saya kecil, sejauh ingatan saya, Gunung Slamet selalu kelihatan tenang. Sesekali tampak segumpal asap tipis di puncaknya. Nyaris tak pernah terdengar Gunung Slamet memuntahkan asap tebal, apalagi lahar.
Suatu malam pada awal 1970-an, satu pertunjukan wayang golek di desa kami terhenti dan bubar katawuran karena gempa besar. Konon gempa terjadi ketika cerita pertunjukan wayang itu sampai kepada adegan Kawah Candradimuka bergolak. Ada yang mengaitkan Gunung Slamet bergolak dan menggoyangkan tubuhnya bersamaan dengan bergolaknya Kawah Candradimuka. Tentu saja itu keliru. gempa waktu itu tektonik, bukan vulkanik.
Orang-orang tua kami bercerita bahwa Gunung Slamet tak akan meletus. Kenapa? Karena namanya Slamet. Ia akan selamat selamanya, melindungi warga yang berdiam di sekelilingnya. Mitos menyebutkan, kalau Gunung Slamet meletus, Pulau Jawa akan terbelah menjadi dua. (Menurut saya, lebih tepat terpotong menjadi dua.)
Bujangga Manik, seorang pangeran dari Pakuan, diperkirakan pernah melewati Gunung Slamet dalam petualangannya menyusuri Pulau Jawa, dari Pakuan hingga ke Bali dan kembali ke Pakuan (Di kawasan Bogor sekarang). Namun Bujangga Manik menyebutnya bukan Gunung Slamet, melainkan Gunung Agung. Setidaknya, itulah tafsiran sejarawan J. Noorduyn asal Belanda terhadap naskah yang ditulis Bujangga Manik, berdasarkan deskripsi lokasinya. Menurut Noorduyn, nama "Slamet" relatif baru, yaitu setelah masuknya Islam ke Jawa. Kata ini pinjaman dari bahasa Arab.
Tafsiran Noorduyn berbeda dengan cerita rakyat yang menyebutkan bahwa suatu saat Syekh Maulana Maghribi pernah mengunjungi lereng Gunung Gora, dalam perjalanannya menyebarkan Islam di wilayah tengah Pulau Jawa, karena menderita gatal yang sulit disembuhkan. Ia ke sana setelah mendapat ilham sehabis salat Tahajud. Rupanya di lereng Gunung Gora ada sumber air panas yang mempunyai tujuh pancuran. Syekh Maulana sembuh setelah mandi secara teratur di sumber air panas itu. Karena selamat dari penyakit gatal itu, Syekh Maulana mengganti nama Gunung Gora menjadi Gunung Slamet.
Cerita lain menuturkan bahwa dulu gunung ini sering meletus. Setelah namanya diganti menjadi Gunung Slamet, ia tak pernah lagi meletus, paling hanya batuk-batuk, seperti yang terjadi sekarang dan sebelumnya tahun 1999 dan 2009.
Benar tidaknya, wallahualam. Yang pasti, dengan ketinggian 3.428 di atas permukaan laut, Gunung Slamet merupakan gunung tertinggi kedua di Pulau Jawa, setelah Semeru. Gunung ini seakan dibagi wilayahnya ke lima kabupaten di Jawa Tengah, yakni Brebes, Banyumas, Purbalingga, Tegal, dan Pemalang.
Meskipun medannya dikenal sulit, Gunung Slamet cukup populer sebagai sasaran pendakian. Untuk menuju puncaknya, para pendaki dapat melewati beberapa jalur, di antaranya Jalur Bambangan, Jalur Guci, Jalur Dukuhliwung, dan Jalur Baturraden.
Seorang pengamat spiritual, Zaenal Ken Arok, memaknai "batuk-batuk" Gunung Slamet sebagai pertanda keselamatan dan kekuatan bangsa ini perlahan-lahan menipis dan itu dimaksudkan agar kita lebih mengingat lagi kepada Yang Mahakuasa. "Kalau dikaitkan dengan situasi politik, maka akan ada sedikit gejolak, di mana yang pinter pada keblinger dan yang bodoh makin dibodohi lagi," ujar Zaenal.
Menurut Zaenal, jika Gunung Slamet benar-benar meletus, apalagi dengan letusan yang besar, semua wilayah yang masuk dalam jangkuan semburan debu atau awan panas dapat melumpuhkan Pulau Jawa, yakni jalur pantura akan tersendat, jalur selatan tidak dapat digunakan, dan jalur tengah lumpuh total. Mungkin itulah yang dimaksud oleh mitos bahwa Pulau Jawa akan terbelah dua.
Semoga bencana demikian tidak akan terjadi. (*)