SETELAH
usaha pembuatan makanan ringan, makaroni goreng, yang dirintis bersama kakaknya di Banten jatuh bangkrut tiga tahun lalu, ekonomi dan kehidupan Maman (30) ikut jatuh. Hartanya habis, nyaris tak tersisa.Akhirnya Maman terpaksa memboyong istrinya, Dede Nining (27), dan anaknya semata wayang, Lia (9), pulang ke kampung halamannya di Kampung Sukawening RT 08/RW 01, Dusun Sukawening, Desa Tanjungsari, Kecamatan Sadananya, Kabupaten Ciamis.
Di kampung di kaki Gunung Sawal itu, Maman berusaha bangkit memulai hidup baru. Tapi untuk itu ia terpaksa tinggal di rumah yang sebenarnya tak layak disebut rumah. Bangunan yang ditempati Maman bersama keluarganya itu berupa saung bambu ukuran 1x2 meter beratap rumbia berdinding bilah bambu. Saung tersebut tak lebih baik dari sebuah kandang ayam.
Gubuk itu berdiri reyot di sisi selokan di samping kolam ikan. Angin bebas keluar masuk karena dindingnya hanya berupa kisi-kisi bilah bambu. Saung berlantai bambu tersebut merangkap kamar tidur, ruang tamu, sekaligus dapur. Maklum, di saung sempit yang berlokasi jauh dari rumah warga lainnya tersebut, Maman sekeluarga menjalani hidupnya yang penuh penderitaan. Tak ada listrik, tak ada radio, apalagi televisi. Yang ada hanya lampu cempor dan tungku berbahan bakar kayu kering.
Untuk mencapai rumah Maman tidaklah gampang. Sekitar 1 km dari sisi jalan Desa Sukawening, melintas jalan setapak masih berupa tanah yang licin saat musim hujan. Turun-naik tangga tanah.
Setahun Maman tinggal bersama istri dan anaknya di gubuk reyot yang nyaris rubuh tersebut. Hingga tiga bulan lalu, Maman membuat gubuk baru yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan gubuk sebelumnya hanya sekitar 10 meter dari tempat semula.
Gubuknya tetap gubuk bilik. Ukurannya sedikit lebih "lega", yakni sekitar 1,5x2 meter. Dindingnya bilik bambu dengan anyaman yang rapat sehingga angin tidak lebih leluasa masuk. Tapi tetap saja, gubuk yang tidak layak huni.
Selama setahun tinggal digubuk tersebut, menurut Maman, ia tidak pernah mengalami sakit yang serius. "Paling hanya demam atau masuk angin. Seringnya tidak bisa tidur karena banyak nyamuk," ujar Maman, Senin (7/1) siang. Namun Maman bersyukur, selama tinggal dalam "hutan" tersebut, Maman sekeluarga tak pernah digigit ular. "Tidak pernah ada ular masuk rumah," ujar Dede Nining.
Di Ciamis, Maman terpaksa menjadi buruh tani atau kerja serabutan dengan penghasilan yang tidak pasti. "Kalau ada pekerjaan, macul atau ngaburuh lainnya. Penghasilan bisa Rp 25.000 sehari. Bila tidak ada yang nawarin pekerjaan, ya tidak punya penghasilan," kata Maman.
Untuk menambahkan penghasilan, Maman pun terpaksa berjuang setiap hari memanjat pohon kawung (aren) untuk menyadap nira guna dibuat gula kawung. Maman juga dipercaya warga setempat menggembalakan tiga ekor domba dengan sistem maro (bagi hasil).
Dengan kesulitan hidup tersebut, Maman sehari-hari terkadang terpaksa makan hanya dengan lalap daun singkong rebus dan sambal cengek hasil bercocok tanam sendiri. "Alhamdulillah, kadang kalau ada rezeki, ya bisa makan dengan asin (ikan asin). Yang penting anak bisa terus sekolah," ujar Maman, menyebutkan anaknya, Lia, yang saat ini sudah duduk di kelas III SDN Tanjungsari Sadananya.
Penghasilan sehari-hari, kata Maman, paling banyak digunakan untuk membeli beras. Maklum setiap bulan Maman hanya mendapat 3 kg beras untuk warga miskin (raskin) yang hanya cukup untuk dua hari. "Ada 3 kg raskin tiap bulan, tapi itu cukup untuk dua hari. Lebihnya ya beli sendiri," kata Maman nelangsa.
Kondisi Maman yang nestapa tersebut ternyata muncul di dunia maya. Seorang Facebooker yang sedang mencari pohon picung (pohon penghijauan yang cocok untuk menyerap air) di kawasan kaki Gunung Sawal tersebut. Kondisi kehidupan Maman sekeluarga yang sempat muncul di status Facebook tersebut sampai juga ke akun milik Ketua DPRD Ciamis, H Asep Roni.
Asep kemudian tergerak melihat kehidupan Maman di gubuk dan memberikan bantuan, kemarin. Asep menyalurkan bantuan uang tunai Rp 10 juta. "Ini bantuan dari PS Dani Putera. Mohon digunakan langsung untuk membuat saung atau rumah yang lebih layak. Mudah-mudahan ada swadaya dari masyarakat sekitar," ujar Asep.
Saat menerima segepok uang dari Asep tersebut, Maman tak kuat menahan air matanya. Ia sempat meranggkul bahu Asep dan menangis sesenggukan. Demikian juga Dede, istri Maman. Pasangan suami-istri yang tetap tabah itu tak menyangka akan mendapat rezeki yang datang tiba-tiba. "Hatur nuhun, Pak," kata Maman.
Asep merasa prihatin dengan kondisi Maman yang lolos dari pantauan pihak-pihak terkait. Padahal, menurutnya, ada program perbaikan rumah warga yang tidak layak huni, seperti program bedah rumah dari Kemensos atau Kemenpera. "Juga dari Pemprov Jabar yang lagi getol-getolnya menganggarkan program perbaikan rumah tak layak huni (rutilahu). Bagaimana sih kriteria dan prioritas rutilahu tersebut? Masa rumah Pak Maman ini luput dari prioritas," kata Roni.
Menurut Kades Tanjungsari, Asep Tatang, sejak dua tahun lalu pihaknya sudah mengusulkan bedah rumah untuk 40 rumah tidak layak huni di Desa Tanjungsari ke pihak terkait. "Termasuk rumah Pak Maman ini. Tapi sampai sekarang semuanya belum ada yang direalisasikan," ujar Asep Tatang. (*)
Anda sedang membaca artikel tentang
Keluarga Maman Tinggal di Gubuk Nyaris Roboh
Dengan url
http://jabarsajalah.blogspot.com/2013/01/keluarga-maman-tinggal-di-gubuk-nyaris.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Keluarga Maman Tinggal di Gubuk Nyaris Roboh
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Keluarga Maman Tinggal di Gubuk Nyaris Roboh
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar