Dua rumah gubuk yang terletak di kolong jembatan itu menjadi tempat tinggal bagi para gelandangan. Seorang kakek, dua orang laki-laki dan dua perempuan tinggal satu atap meski tak ada hubungan darah di antara mereka. Meski begitu, itulah satu-satunya keluarga yang mereka punya karena mereka saling memiliki. Dari rumah itulah berbagai masalah muncul mulai dari masalah pekerjaan hingga percintaan.
RT 0 RW 0, itulah sebutan bagi mereka yang tak memiliki tempat tinggal. Naskah asli karya Iwan Simatupang ini menceritakan bagaimana kehidupan mereka yang tak memiliki tempat tinggal tetap beserta konflik-konflik yang menyelimutinya. Kini RT 0 RW 0 kembali dipertunjukkan oleh para aktor dari Teater Djati Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran pada Rabu (25/2) lalu.
Berlatar di kolong Jembatan, para aktor memainkan perannya dengan apik. Meski tergolong pemain baru, delapan aktor yang terdiri dari mahasiswa Sastra Indonesia Unpad ini cukup sukses mendalami karakternya masing-masing. Beberapa tokoh sentral dalam RT 0 RW 0 adalah Si Kakek, Pincang, Ani, Ina, dan Bopeng. Semuanya berasal dari keluarga yang berbeda, namun mereka hidup bersama di kolong jembatan seperti satu keluarga.
Pincang adalah seorang penulis, sastrawan yang memiliki kata-kata petuah yang indah, sedangkan Ina dan Ani bekerja sebagai pekerja seks komersial. Bopeng yang sudah lama melamar menjadi kelasi kapal akhirnya diterima juga, dan Ani telah menerima lamaran Babah gemuk yang selama ini menjadi pelanggan setianya. Pertunjukan berdurasi satu setengah jam ini sukses memukau penonton yang siang itu menikmati pertunjukkan karya sutradara Muhammad Hakim Duta (18).
"Kolong jembatan adalah tempat yang tidak diakui keberadaannya oleh pemerintah. Oleh sebab itulah mereka, para penghuni di kolong jembatan itu membutuhkan pengakuan," ujar Hakim.
Meski mementaskan naskah drama yang sudah terkenal, Hakim memberikan sedikit perubahan dari segi dialog dan perubahan tangga dramatik. Naskah asli karya Iwan Simatupang berlatar tahun 1960-an sedangkan Hakim mengubahnya menjadi tahun 1990-an. Kata-kata yang digunakan Iwan Simatupang terkenal kaku sehingga perlu ada perubahan dan penyesuaian mengikuti latar waktu. Hakim dan teman-temannya ternyata tak membutuhkan waktu lama untuk membuat pertunjukan ini. Hanya dalam 2 bulan kelompok teater Djati berhasil membuat pertunjukkan yang berhasi menyedot banyak penonton.
Meski terbilang sukses, pementasan drama ini tak luput dari kekurangan. Pemeran tokoh Ina sempat melakukan kesalahan dalam pengucapan kaimat. Tempo bicara yang terlalu cepat pun membuat dialog menjadi tak terdengar jelas. Selain itu, ada beberapa detail yang terlewatkan seperti saat adegan si kakek yang sedang merokok. Salah seorang penonton memberikan masukan, yakni saat adegan merokok si kakek sama sekali tak terbatuk-batuk, padahal sebelumnya si kakek sering batuk-batuk.
Terlepas dari segala kekurangan, Hakim mengaku merasa bangga atas kerja keras teman-temannya. Sebagai pemula, ia merasa pementasan ini luar biasa. Hakim menyadari kalau kemampuan para aktor seharusnya bisa lebih baik daripada sekarang namun ia tetap merasa bangga atas karya perdananya di Teater Djati. (tj1)
Anda sedang membaca artikel tentang
Menelisik Kehidupan di RT NOL RW NOL
Dengan url
http://jabarsajalah.blogspot.com/2015/03/menelisik-kehidupan-di-rt-nol-rw-nol.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Menelisik Kehidupan di RT NOL RW NOL
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Menelisik Kehidupan di RT NOL RW NOL
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar