SEINGAT saya, saya selalu berlebaran di kampung kelahiran saya. Sejak kelas satu SMA pun, puluhan tahun lalu, saat tahun pertama saya pergi "mengembara", saya juga selalu pulang kampung untuk berlebaran bersama keluarga.
Seingat saya, saya tidak pernah melewatkan hari Lebaran di tempat lain selain di kampung kelahiran saya.
Dengan kata lain, sejak masa SMA itu saya selalu mudik, pulang ke kampung halaman, dengan pelbagai romantikanya.
Namun, kalau saja punya pilihan lain, saya lebih suka tidak menjalani lagi ritual mudik, lebih-lebih dengan situasi seperti tahun-tahun belakangan. Ketika mudik adalah proses yang sangat melelahkan, baik secara stamina, emosi, maupun ekonomi: mudik adalah menjalani ritual perjalanan melalui infrastruktur jalan dan jembatan yang menguras tenaga, menghabiskan simpanan kesabaran, dan menyedot cadangan tabungan uang.
Kelelahan itu bahkan dimulai jauh sebelum saat mudik tiba, misalnya harus memesan tiket perjalanan pulang-pergi berbulan-bulan sebelumnya.
Iri rasanya melihat orang-orang yang tidak pergi ke mana-mana menjelang Lebaran tiba. Mereka cukup mempersiapkan Lebaran di rumah masing-masing, tanpa direpotkan segala tetek-bengek arus mudik dan arus balik.
Seorang teman menilai tradisi mudik itu aneh. Teman ini, yang memang lahir di kota, dengan orang tua yang juga tinggal di kota, menganggap aneh jutaan orang mau ribet dan kepayahan baik sebelum, selama, maupun sesudah perjalanan. Bahkan setelah memiliki pasangan hidup yang berasal dari daerah, teman saya ini tetap menganggap mudik bukan perjalanan yang bisa dinikmati.
Toh jutaan orang tetap mudik. Mungkin setahun lebih dari sekali. Mungkin beberapa tahun sekali, terutama tiap Lebaran. Orang-orang tetap merasa ditarik magnet sangat kuat untuk selalu pulang, bagaimanapun situasi perjalanan.
Tidak hanya tenaga, emosi, dan uang, bahkan nyawa pun mereka pertaruhkan demi bisa pulang. Tahun ini lebih dari empat ratus nyawa para pemudik melayang di perjalanan.
Sebagian besar kecelakaan yang merenggut nyawa itu menimpa para pemudik bermotor. Empat ratus tentu bukan angka yang kecil. Bukan pula sekadar statistik dan menjadi kegembiraan jika angkanya lebih kecil daripada angka kematian tahun lalu.
Dan mestinya segala kemacetan dan kecelakaan itu bisa diantisipasi jauh sebelumnya, tidak hanya pembenahan infrastruktur jalan hanya sebulan sebelum musim mudik tiba. Pihak berwenang memang seakan hanya peduli untuk memperbaiki infrastruktur sebulan dalam setahun.
Dalam sebelas bulan lainnya, jalan dan jembatan dibiarkan merana. Nyaris tidak ada kemajuan dalam upaya memberikan kenyamanan bagi pengguna jalan tidak hanya ketika memasuki musim mudik Lebaran.
Padahal, mudik sudah menjadi tradisi, terjadi setiap tahun, bahkan bisa dirunut hingga ratusan tahun lalu. Konon, pada zaman pramodern, komunikasi sosial berlangsung lebih banyak lewat sungai. Hampir semua hunian tua di wilayah Indonesia sekarang selalu berada di tepi sungai. Karena sungai merupakan sarana komunikasi dan transportasi yang vital, muncullah istilah hulu dan hilir, mudik dan muara.
Kalau orang mengatakan mau mudik, jelas artinya mau pergi ke hulu. Dan kalau mau ke hilir, berarti mau ke arah muara. Orang yang menuju ke hulu dapat berarti "naik", "munggah", "pulang", "ke hutan", "ke kebun", "ke bukit", "ke kampung". Sebaliknya, orang yang menuju ke hilir dapat berarti "pergi", "keluar", "ke pasar", "merantau", "kerja".
Dengan demikian, mudik adalah kembali ke kampung halaman, ke nenek moyang, ke asal adanya, kembali ke fitrahnya. Begitulah kesadaran kolektif bangsa ini sejak zaman dahulu kala, yakni tidak pernah melupakan jati dirinya, asal-usulnya, nenek moyangnya, kampung halaman tempat dilahirkan.
Manusia Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, dalam hubungan mudik ini, selalu ingat asal-usulnya, indungnya, sangkan paran atau asal dan tujuan hidup ini.
Demi bisa kembali ke tempat asal-usulnya itulah para pemudik tak peduli jalan rusak dan macet, tak peduli 24 atau 48 jam perjalanan dari Ibu Kota menuju kampung halaman.
Perjalanan yang sangat melelahkan itu pun menjadi kisah yang ramai dibahas di kampung halaman, menjadi bumbu cerita yang terus disampaikan di antara sahabat-sahabat lama, dalam suasana penuh kegembiraan. Rakyat negeri ini memang selalu tangguh menghadapi apa pun.
Dan entahlah, dalam perkara mudik, apakah pemerintah pernah berpikir serius untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada rakyatnya. (*)
Selengkapnya, bisa dibaca di Harian Pagi Tribun Jabar, Minggu (3/8/2014).
Anda sedang membaca artikel tentang
Mudik
Dengan url
http://jabarsajalah.blogspot.com/2014/08/mudik.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Mudik
namun jangan lupa untuk meletakkan link
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar