BANDUNG, TRIBUN - Bermula dari keprihatinan menyaksikan para pendakwah di televisi yang lebih menonjolkan 'personal' dan gaya membawakan dakwahnya, muncullah puisi-puisi. Puisi-puisi itu sarat kritik sosial serta metafor bagi berbagai hal yang dibangun oleh kecenderungan media televisi. Dan puisi-puisi itu ditulis penyair asal Bandung, Matdon, yang kini tersusun dalam sebuah kumpulan buku puisi berjudul "Ustaz Televisi".
"Buku ini adalah kritik sosial bagi siapa saja, tidak hanya ustaz. Dan yang dikritisi itu bukan isi dakwahnya tapi gaya pendakwahnya," kata Matdon dalam rilisnya yang diterima Tribun, Kamis (15/5).
Dibalik itu, Matdon yang juga sebagai Rois Am Majelis Sastra Bandung, menilai tidak semua ustadz seperti yang digambarkan dalam puisi. Ada
ustadz yang biasa tampil di televisi dengan baik dan tidak neko-neko.
Buku puisi itu kumpulan buku puisi tunggal ke-7 yang berisi kurang dari 50 puisi dan diterbitkan oleh Teko Publishing kerjasama dengan Majelis Sastra Bandung (MSB) Publishing.
Sebagian dari puisi yang ada dalam buku ini sudah dipublikasi di media
cetak yang ditulis antara rentang waktu 2009-2014.
"Selain puisi kritik, juga ada beberapa puisi cinta, sebagai pelengkap, salah satunya Pucuk Kenangan," jelasnya.
Sebelumya, dia meluncurkan buku Persetubuhan Bathin (bersama penyair Dedy Koral), Garis Langit, Mailbox, Kepada Penyair Anjing, Benterang (bersama Atasi Amin dan Anton D Sumartana) dan Sakarotul Cinta.
Selain menjadi penyair, Matdon juga masih aktif sebagai jurnalis di salah satu situs berita di Kota Bandung. Selain itu beberapa eseinya
yang di publikasi adalah esai "Birahi Budaya" (2012/2013). Sementara puisinya juga terdapat di buku antologi bersama Maha Duka Aceh, Di
Atas Viaduct, JILFEST, Temu Sastrawan Indonesia di Ternate, Pertemuan Penyair Nusantara di Jambi.
Atas peluncuran buku puisi "Ustaz Televisi" tersebut, seniman Bandung, Heri Dym menyatakan judul buku itu mengharuskannya memberi tanda jempol. Itu bukan tanda jempol basa-basi demi menyenangkan penulisnya, melainkan pengakuan bahwa sajak ini betul-betul impresif.
"Kesan yang paling kuat, manakala kata ustadz yang disandingkan dengan televisi. Saya menangkap adanya paradoks yang begitu kuat antara dunia nilai, pendidikan, dan ajaran yang berhadapan langsung dengan dunia tak tersentuh dan artifisial," katanya.
Kebetulan pula setelah sajak ini diluncurkan, bermunculan kasus-kasus beberapa ustadz yang melenceng dari prinsip nilai, pendidikan, dan ajaran.
"Setidaknya bagi saya, kata 'ustadz' itu menjadi memiliki dua daya sekaligus yaitu dalam arti langsung atau denotatif dan sebagai metafor," ungkapnya.
Di sisi denotatif, lanjut Heri, ustadz itu sosok yang seperti umumnya dipahami yaitu seseorang yang lazimnya berada di dalam tradisi pendidikan keagamaan (Islam), yang ternyata 'belum tentu' merupakan pusat kebenaran malah seyogianya seperti kemanusiaan lainnya yaitu hal yang terbuka bagi kritik. Sisi lainnya juga sebagai metafor yang terbangun oleh kecenderungan media televisi.
"Seperti kita ketahui, disengaja atau pun tak sengaja, televisi seolah-olah telah menjadi pusat segala kebenaran, penyihir kesadaran publik dan penentu nilai-nilai," katanya.
Hingga akhirnya ditambahkan Heri, muncul pameo "as seen on tv", yakni sihir, apa yang terlihat di tv itu pasti yang terbaik, paling unggul dan istimewa.
"Sajak ini dalam tataran metafor terasa sekali tenaganya berkekuatan untuk mendekonstruksi fanomena itu. Atau setidak-tidaknya berfungsi sebagai 'alarm' yang menyatakan tak selamanya tv itu benar dan terbaik," katanya. (ddh/*)
Anda sedang membaca artikel tentang
"Ustaz Televisi," Kritik Sang Penyair Kepada Para Pendakwah
Dengan url
http://jabarsajalah.blogspot.com/2014/05/televisi-kritik-sang-penyair-kepada.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
"Ustaz Televisi," Kritik Sang Penyair Kepada Para Pendakwah
namun jangan lupa untuk meletakkan link
"Ustaz Televisi," Kritik Sang Penyair Kepada Para Pendakwah
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar