Masyarakat Masih Ramah

Written By Unknown on Sabtu, 27 Juli 2013 | 12.14

* Arief Permadi, Wartawan Tribun

ADA kisah menarik yang terjadi di SMPN 2 Dayeuhkolot, belum lama ini. Sejumlah siswa baru mengeluh tentang adanya biaya sewa yang harus mereka keluarkan saat akan meminjam buku paket pelajaran di perpustakaan sekolah. Besarnya seribu rupiah untuk satu buah buku.

Para siswa mengaku heran, karena sejauh yang mereka tahu, buku-buku itu seharusnya dapat mereka pinjam cuma-cuma, tanpa harus membayar ini dan itu. Dan, benar, buku-buku itu seharusnya memang bisa mereka pinjam tanpa harus mengeluarkan biaya karena semua dananya seharusnya sudah ter- cover oleh dana yang berasal dari bantuan operasional sekolah (BOS).

Menyusul tersiarnya kabar tentang adanya biaya sewa untuk peminjaman buku-buku paket di perpustakaan sekolah, reaksi pun segera bermunculan, termasuk dari pihak sekolah. Pihak sekolah melalui Kepala SMPN 2 Dayeuhkolot, Ade Nugraha, membantah telah menerapkan biaya sewa kepada peserta didik untuk bukubuku paket pelajaran yang mereka pinjam dari perpustakaan sekolah. Namun demikian ia mengakui telah memungut sejumlah uang dari para peserta didik yang akan meminjam buku paket pelajaran dari perpustakaan sekolah ini.

Uang yang mereka pungut, kata Ade, juga tidak besar. Jumlahnya hanya Rp 100 untuk setiap buku. Jadi, jika ada 10 buku paket yang akan dipinjam siswa, para siswa harus mengeluarkan Rp 1.000.

Pungutan Rp 100 per satu buah buku tersebut, menurut Ade, adalah uang untuk membiayai perawatan buku tersebut. Uang tersebut juga untuk membiayai pendaftaran siswa sebagai anggota perpustakaan sekolah.

"Buku itu kan didapat turun temurun dari kakak kelasnya. Jadi takut ada yang rusak, lebih baik dirawat," ujar Ade (Tribun Jabar, Selasa 23/7).

Dilihat dari nominalnya, biaya perawatan Rp 100 per satu buku yang diterapkan kepada siswa saat akan meminjam buku dari perpustakaan sekolah, bukan sesuatu yang besar. Nominal Rp 100 bukanlah jumlah yang memberatkan, bahkan bagi golongan siswa paling miskin sekalipun. Dengan jumlah buku yang bisa dipinjam yang hanya cukup untuk 200-an siswa, total pungutan yang bisa terkumpul juga kecil saja, cuma Rp 200-an ribu. Kita bisa dengan mudah maklum, tapi justru di situ letak masalahnya.

Jika dana pemeliharaan buku paket pelajaran sekolah yang hanya Rp 200-an ribu tidak dapat ter- cover dari dana BOS hingga sekolah terpaksa meminta para siswanya "menanggung renteng", iuran untuk menyelesaikannya, ada dua kemungkinan awal yang paling tidak bisa kita tarik. Pertama, dana BOS ini terlalu kecilnya hingga untuk biaya pemeliharaan buku yang cuma Rp 200-an ribu saja tak cukup. Kedua, manajemen pengelolaan dana BOS yang kacau balau, merembes ke mana-mana, keliru menerapkan prioritas. Kemungkinan lainnya, jika dua kemungkinan awal tadi tak masuk, tentu adalah adanya penyalahgunaan yang disengaja, dan ini jelas kriminal.

Jika memang dana BOS terlalu kecil, pemerintah dan para wakil rakyat tentu harus mempertimbangkan opsi lain, misalnya soal aturan penggalangan dana dari para siswa atau orang tua siswa. Pembuatan aturan ini jauh lebih baik, ketimbang "gaya-gayaan",  memberlakukan larangan pungutan tapi dengan menyisakan celah "abu-abu" yang bisa ditembus: boleh asal ada kesepakatan. Celah ini membuat Komite Sekolah, (entah sengaja atau tidak), pada akhirnya menjadi seperti "mesin uang" bagi sekolah, sarana legal untuk merasa boleh menggalang dana, dengan sedikit melebarkan arti kata kesepakatan.

Amburadulnya manajemen pengelolaan dana BOS juga menjadi hal yang harus dihentikan saat ini juga mengingat dampak lanjutannya. Sekolah harus berani menghadapi tekanan untuk menentukan pilihan. Dari siapa pun, termasuk dari oknum-oknum media massa.

Terkait kemungkinan penyalahgunaan, punishment berjenjang yang terbatas sudah saatnya diberlakukan. Pelaku-pelaku utamanya harus dibawa ke meja hijau, sementara para atasannya, para pengawas dan kepala UPTD yang lalai karena gagal mencegah penyalahgunaan BOS juga dihukum tak naik pangkat, dimutasikan ke tempat yang jauh, atau bahkan diberhentikan.

Tak kalah penting, kecepatan penanganannya juga harus ditingkatkan lagi. Anatomi kasus kekacauan penggunaan dana BOS itu sederhana, kok. Tak perlu lama untuk mengerti.

Pertanyaannya, mau atau tidak pemerintah kita menyelesaikannya. Sebab, jika tidak sekarang, tahun depan pasti akan terulang. Kini masyarakat kita masih begitu ramah. Tapi, kita tak pernah tahu sampai kapan kegeraman itu akan tersimpan. (*)


Anda sedang membaca artikel tentang

Masyarakat Masih Ramah

Dengan url

http://jabarsajalah.blogspot.com/2013/07/masyarakat-masih-ramah.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Masyarakat Masih Ramah

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Masyarakat Masih Ramah

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger